Minggu, 03 Juli 2011

Di Stasiun Kecil Itu


Ku hampiri loket pembelian karcis kereta di stasiun itu, ’TUTUP’. Hah?! Jam 16.00 masih tutup??pikirku. Kupandangi stasiun kecil itu, "hmmm....pantesan aja". Sepi. Aku pun mulai cemas. Dan aku mengutuk si abang angkot tadi yang menurunkan aku di sini. Haaaa...legaaa, ternyata masih ada kehidupan di stasiun ini. Kulihat sepasang kekasih sedang duduk menunggu kereta.

Aku pun langsung menghampirinya,”maaf mas mau tanya, ko tempat karcisnya tutup ya??”, tanyaku.

Dia pun menjawab,”iya mba, disini loketnya buka jam 5 sore.”

Aku terdiam sejenak...dan berpikir, jelas saja buka jam 5 sore, stasiun ini sepi bangeeettt...heuu.

Disaat aku sedang menunggu loket karcis buka, datanglah seorang lelaki dengan menjinjing tas raket ditangannya. Dia pun menanyakan hal serupa pada kedua sejoli itu. Lama ku menunggu –mungkin kalau saja HP-ku tidak lowbat sudah berpuluh-puluh lagu ku dengar- aku menghela nafas dalam-dalam. Perjalan yang cukup melelahkan, hanya untuk “menggambar gratis”, batinku. Tapi bagaimana pun juga ini awal dari semuanya, atau lebih tepatnya untuk menyalurkan hobiku. Menunggu loket buka rasanya hampir setahun,huhft....Dengan muka kesal aku, mengomel tak jelas mengomentari kedatangan kereta yang super lama. Tiba-tiba datang seorang bapak tua –setengah baya kira-kira usianya-.

Dengan alis berkerut dan berkata cukup keras,”Jam segini belum juga buka??! Astagfirullah..!!”.

Hmmm...ternyata bukan aku saja yang merasakannya.

Dia menoleh padaku dan berkata,”belum buka mba?”

Aku jawab saja dengan senyum kecut,“belum pak.”

Hampir satu jam berlalu, sepertinya tak ada tanda-tanda loket karcis untuk membuka tirainya.

“Ha!!! Itu udah buka mba!”, teriaknya senang.

Aku yang terdiam dengan pikiranku melayang entah kemana, terkejut dengan teriakan bapak tua itu. Semangat sekali pikirku. Dan kami pun mengantri untuk membeli tiket. Tiket sudah ditangan, kini tinggal galau menunggu kereta tiba. Ketika sedang duduk menunggu kereta datang, tiba-tiba bapak tua tadi mengejutkan ku kembali.

“mba baru pulang kerja yah?”

“ngga pak...,” jawabku pendek

“saya dari jam setengah empat lho mba nunggu kereta...sampe saya sempet cukur rambut dulu...!”, dengan menunjukkan hasil cukuran dari balik topinya yang terpangkas habis.

Aku lihat jam tanganku,“waah emang waktunya cukup banget pak buat nyukur rambut, malah lebih...haha”, candaku padanya.

“hahahahaaaa...iya mba bener!! Saya liat di jadwal jam 16.15 lho...ah daripada nunggu lama, mending saya nyukur rambut dulu”

“iya ya pak”, jawabku sekenanya.

Dari perangainya bapak tua ini seorang yang pandai bergaul, baik, humoris, dan kami pun terlibat dalam pembicaraan yang cukup untuk membuatku sedikit terhibur di stasiun yang sangat sepi ini. Entah dari mana awalnya pembicaraan kami, dan tiba-tiba dia bilang,

“anak saya mengajar di sekolah aliyah, sebentar lagi mau diangkat jadi PNS, insya Allah. Umur anak saya 22 tahun, mba...anak kedua saya laki-laki baru naik kelas 3 SMA. Tingginya 180 mba...”,terdiam sejenak dia, seolah menunggu untuk dikomentari dariku.

“waaah tinggi banget pak anaknya?”, karena kulihat perawakan sang ayah yang tidak begitu tinggi.

“iya mba,ikutan basket dia...sekarang dia ngelatih basket di SMP, yaah lumayanlah mba buat uang jajan dia sendiri, tapi kadang dia juga tetep minta ma saya, hehe”, sambil terkekeh dan menggelengkan kepala tertunduk.

“ooo..panteees, tapi hebat ya pak, jadi pelatih basket...”, timpalku dengan senyum diakhir kata.

“maaf bapak punya anak berapa?”, tanyaku tak penting.

“anak saya cuma dua mba, yang perempuan ini, dia sudah 6 kali ganti pacar lho mba...setiap ada yang datang kerumah ni, saya lihat bagimana orangnya mba”.

Dengan muka serius dia bercerita tentang anaknya dan akupun mulai hanyut terbawa dalam cerita-ceritanya.

“maksudnya bapak ‘lihat’”,tanyaku menyelidiki.

“iya mba, saya lihat dulu...kalo pas dateng jamnya sholat, trus ada bunyi bedug dia diem aja...kebangetan, gimana nggak mba orang mesjidnya diseberang rumah saya. Tapi bener lho mba, kalo soal yang satu ini saya ga bisa diem aja”.

Akupun hanya meng-iya-kan perkataannya dan manggut-manggut. Lalu dia mengejutkan aku dengan pertanyaan yang menjurus.

“maaf ni mba, mba udah nikah?”

“Belum”,

“kalo pacar?”

“ga punya”, bibirku dipaksakan untuk tersenyum

“atau mba lagi pendekatan sama orang?”, tanya dia penasaran.

“ga ada pak...”, jawabku mulai risih dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukkan.

Dari raut mukannya dia seperti tidak percaya dengan jawaban-jawaban yang aku lontarkan padanya. Tapi memang begitu keadaannya, mau gimana lagi?

“saya kasih tau ya mba, jangan pernah memberi peluang sama laki-laki yang menurut mba bukan orang yang tepat buat mba, kalau mba udah ada calon, sebaiknya sholat istikharoh dulu”, nasihatnya.

“saya selalu bilang sama anak saya, ‘ndoo cari pasangan hidup itu kamu harus bisa melihat bagaimana dia dari dalemnya, jangan diliat dari luarnya aja, do’anya ya Allah jika dia jodohku dekatkanlah, jika bukan jodohku jauhkanlah’”

Aku hanya menggangguk kecil. Seperti seorang anak yang dinasihati ayahnya.

“kalo do’a orang tua beda lagi mbaaa...’ya Allah tunjukkanlah pada hamba jika memang itu jodoh anak hamba’”, dengan muka serius.

Ya Allah seperti disambar petir...aku langsung teringat sosok lelaki tua di sana yang tak pernah memberiku nasihat, seperti yang bapak itu katakana pada anaknya. Ingin aku menangis saat itu juga, tapi kutahan air mataku untuk tidak mengalir deras dipipiku.

“yaaah mba, meskipun saya kerja di pasar, saya ingin anak-anak saya sukses dan bahagia dunia akherat”, tambah bapak tua yang bekerja di pasar Kramat Jati itu.

“Mantan pacar saya –istri saya mba- orangnya cerewet, tapi baik. Saya selalu bilang sama istri saya, kalo ada masalah dan bapak baru pulang kerja, tunggu bapak mandi dulu, makan dulu, sholat dulu, baru cerita, diskusiin bareng-bareng. Soalnya pernah mba, pas saya dateng, dengan keadaan cape dari pasar, dia langsung ngomel-ngomel. Saya liatiiiin aja, saya dengerin. Selesai ibu ngomel-ngomel mba, saya cuma bilang ‘udah bu?’, si ibu terus nangis mba. Itu kalo saya lagi tahan ngadepinnya mba, tapi kalo saya lagi ga tahan ni mba udah di ubun-ubun misalnya, saya langsung ke kamar mandi mba...”

“kamar mandi?? Ngapain pak?”, tanyaku terheran-heran

“iya kamar mandi”, dia menegaskan

“saya buka baju, langsung saya naik ke bak, berendem sampe kepala saya ga kliatan...terus saya ucapin omongan-omongan kotor di dalem air mba...seperti b*n*s*t misalnya, kan pasti ga kedengeran tuh, biarpun saya tereak sekenceng apapun...yang ada cuma gelembung-gelembung aja yang keluarkan mba?hehe”, ucapnya terkekeh, namun benar juga fikirku, tanpa ingin menyakiti hati sang istri dengan ucapan kotor, dia ‘rendam di dalam air dingin’agar isi kepala yang keluarpun menjadi dingin kembali.

“atau kalo ga mba...saya langsung keluar rumah,tunggu sampe sejam, saya bel ibu, marahnya pasti udah reda, ya saya balik lagi ke rumah mba”, ceritanya dengan semangat.

“tapi mba...alhamdulillah, ini –sambil mengangkat kedua tangannya- ga pernah saya lakukan”, sambil menggelengkan kepalanya mantap, kalau dia tidak pernah memukul istrinya dengan kedua tangannya itu.

Aku mengerutkan kening, sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

“saya ga mau kalau tangan ini sampai mendarat di istri saya, karena nanti, disuatu saat nanti, anak perempuan saya pasti akan dikasari oleh suaminya, saya ga mau itu mba...”

Lalu bagaimana dengan lelaki tua di sana? Adakah dia memiliki hati pada wanita yang dinikahinya berpuluh-puluh tahun yang lalu...tangan dan lisannya tak pernah dia jaga, ya Allah. Akankah jika ucap bapak itu benar ‘disuatu saat nanti anak perempuan saya pasti akan dikasari oleh suaminya’, ya Allah jangan sampai itu terjadi.

“...”, aku hanya bisa terdiam mendengar ucapannya yang terakhir.

Mulutku tertutup rapat.

“saya kan orang pasar ya mba, malem ga di rumah, pernah saya tanyakan sama istri saya ‘ibu nyesel nikah sama bapak?’ istri saya geleng kepala mba, saya tanya lagi ‘ibu nyesel tiap malem ga tidur sama bapak?’, istri saya geleng kepala lagi...saya bilang ‘alhamdulillah’”

“istri bapak sabar ya pak...” kataku padanya

“bukan mba, bukan sabar...tapi istri saya menerima saya apa adanya dan saya merasa kasihan padanya”, ucap bapak itu.

Wuzzzzzz...!!! kereta yang ku tunggu-tunggu akhirnya datang juga.

“nah tuh! Keretanya dateng mba!”, ucapnya semangat.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang, sambil mencerna semua cerita yang diucapkannya tadi sembari menunggu kereta datang.

Mungki menurutnya, cerita tadi adalah cerita untuk mengusir waktu senggang. Tapi menurutku, cerita tadi merupakan cerita yang begitu sarat akan makna hidup,yaaa...walaupun hanya beberapa menit kami berbincang-bincang, itu merupakan sesuatu yang sangat berharga.

Ketika dia sampai di tempat tujuannya, dia berpamitan padaku.

“saya turun di sini mba...assalamua’alaikum”

“oh iya pak, wa’alaikumssalam,hati-hati ya pak...”, ucapku. Entah terdengar olehnya atau tidak.

Selama perjalanan pulang, masih kuingat semua perkatannya, masih kuingat jelas raut wajahnya ketika dia bercerita, masih kuingat jelas gerak tubuhnya ketika dia mengangkat kedua tangannya, dan sorot matanya yang teduh serta dapat mendamaikan keluarga kecilnya, yang tak dapat ku temukan di lelaki tua itu.

Ingin aku bertemu kembali dengannya untuk sekedar mengucapkan sesuatu yang tertinggal...

“makasih ya pak...” ;)