Senin, 17 Oktober 2011

Menapakimu......Lawu (Part 2)

Cerita sebelumnya…
Sesampainya stasiun Tanah Abang kawanku yang lelaki memesan tiket, sedangkan aku dan Dewi mencari mushola terdekat untuk melakukan shalat maghrib. 

Selesai shalat aku langsung memakai sepatuku, khawatir mereka lama menungguku. Ternyata Dewi menungguku shalat dan dia berkata,”Me, kayaknya ada sedikit masalah deh…”
“Hah?! Masalah?!”, tanyaku cemas.
“Iya..! tadi ada masalah tiket me, si Zibow udah marah-marah aja tuh ma pegawe tiketnya, harga tiketnya dinaekin Rp.5000,-, sekarang sih udah selese kayaknya“, cerita Dewi cepat.
“Ya ampuuun…ko bisa gitu sih? Aneh banget!!”, jawabku ikut-ikutan kesal. Karena bagiamanapun, kalau sudah menyangkut soal uang, sensitivitas akan tiba-tiba meningkat mengalahkan wanita yang sedang PMS (premenstrual syndrome)—hehehe.
“Iya tau tu….! Yuk naek kereta, anak-anak udah di sana”, ajak Dewi padaku sambil menyerahkan tas yang kutitipkan tadi padanya. Akupun turut dibelakangnya.

Kami pun masuk kereta kelas Ekonomi itu,”hmmm…sumpek”, pikirku sekilas. Aku, Dewi dan Ripal menyusuri gerbong kereta yang di kiri-kanannya sudah dipenuhi oleh beraneka macam orang-orang yang hendak pergi dengan tujuannya masing-masing. Mereka menatap kami seperti orang dari belahan bumi yang berbeda. Betapa tidak, Ripal dengan tas Carier yang super besar—mungkin badanku juga bisa masuk tas itu jika meringkuk—sedangkan Dewi dan aku menggendong tas ransel dan tas kecil yang kami selempangkan—tempat praktis untuk mengambil barang-barang yang sangat diperlukan. Belum lagi mereka melihat Dado dan Zibow, yang juga sama seperti bawaan Ripal. Namun sejak selesai shalat maghrib tadi, aku tidak melihat mereka berdua.
Mungkin Ripal menangkap air mukaku yang bertanya-tanya dimana Dado dan Zibow “Ada, mereka di belakang me..”, kata Ripal.
“Ooooh…”, jawabku sekenanya.

Akhirnya kami mendapatkan tempat duduk yang satu bangkunya cukup untuk tiga orang, walaupun agak sedikit sempit. Kami pun duduk bersandar dan melihat keadaan disekeliling kami.
“Terus, yang laen duduk di mana?”, tanyaku pada Dewi.
Tetapi Ripal yang menimpali, “mereka mah bisa duduk dimana aja mee..”. Oh iya, tentu saja mereka bisa duduk dimana saja, secara mereka kan kerja di PJKA. Mereka ikut pendakian ini, karena mereka sedang libur dari tugas.

Bangku di hadapan kami terisi oleh sepasang suami istri, dimana sang istri sedang hamil 5 bulan dan satu lagi perempuan—mungkin kerabat dari salah satu pasangan ini—dan tujuan mereka adalah Pekalongan. Tak jauh dari tempat duduk kami, ternyata ada saudara dari Zibow yang juga hendak pergi ke Solo.

Kami menunggu jarum jam sampai di angka 7, tapi ternyata transportasi di negeri kita tercinta ini selalu saja tak tepat waktu—ngaret, apa harus dimaklumi terus hal semacam ini?

Udara di gerbong saat itu benar-benar tidak bisa kompromi. Bahkan hanya duduk pun, peluh kami keluar dengan sendirinya. Sepertinya ini akibat oksigen yang kami hirup secara berebutan di gerbong, sehingga karbondioksida yang dihasilkan melebihi udara yang kami hirup. Yang tidak habis pikir, ada saja penumpang yang merokok disaat udara kian menipis!! Terkutuklah si perokok itu!!

Sepertinya ini akan menjadi perjalanan yang teramat sangat panjang, kurang lebih memakan waktu 12 jam. Kereta pun perlahan-lahan melaju dengan kecepatan maksimal. Aku melayangkan pandang ke luar jendela. Malam, penuh dengan kerlipan lampu-lampu yang berwarna-warni—yaaah itulah kenapa Cirebon dikatakan kota berintan—selain Kota Udang, karena posisi Cirebon yang berada di dataran rendah dan jika dilihat dari atas pada malam hari akan bertebaran ratusan cahaya kerlap-kerlip yang berwarna-warni nan indah bagai intan bertebaran dimana-mana, dan hal ini mengingatkanku pada kejadian 21 tahun silam yang tak kan pernah ku lupa sampai saat ini—menambah semarak malam kepergianku menuju Solo.

Pukul 00.00 lewat, kereta kami berhenti di Cirebon, ingin rasanya turun dan pulang ke rumah. Hmmm..pasti mamah dan saudara-saudaraku sudah terlelap di buai mimpi. Ponselku berbunyi, ah ternyata SMS dari kakakku yang ke tiga, Mas Farid.
“Udah sampe mana nyon?”, isi SMS yang dia kirimkan—hanya dia yang memanggilku “Menyon”, entahlah dari mana awalnya mungkin plesetan dari namaku sendiri “Melani”. Walaupun begitu aku senang-senang saja dipanggil dengan sebutan itu, mungkin lebih kepada panggilan sayang.
Dah sampe Cirebon nih…pengen pulaaaaang…”, rengekku.
Yaah tau gitu sih, mas ikut kamu aja ke Lawu…”, balas smsnya.
Aaaah ga ga…yang ada malah gangguin lagi..”, jawabku.
Hahaha..Ya udahlah, ati-ati disananya…”, pesannya padaku.
Iyaaaa…..”, jawabku singkat.

Kereta berhenti cukup lama di Cirebon, ini dimanfaatkan penumpang untuk pergi ke kamar kecil atau sekedar menghirup udara malam yang segar, karena di dalam kereta sudah tidak karuan lagi seperti apa udara yang di hirup. Ini pun dimanfaatkan Dewi yang dari tadi ingin ke kamar kecil. Aku keluar untuk menghirup udara malam kota Cirebon. Banyak penumpang yang keluar juga untuk melepas lelah karena duduk terlalu lama, atau bahkan sudah tidak bisa merasakan lagi pantat mereka *hahahahah :p* selama perjalanan tadi.

Setelah satu jam berlalu, kereta melaju lagi dengan kecepatan maksimal dan meninggalkan Cirebon, kota kelahiranku. Kami pun terlelap untuk beberapa saat, setelah melewati beberapa stasiun kereta, tiba-tiba seluruh penumpang di gerbong yang kami tumpangi dihebohkan dengan adanya pencopetan yang ditaksir lebih dari satu orang pelakunya, si pelaku mencopet HP dan dompet dari salah satu penumpang laki-laki. Aku pun sebenarnya sempat panik, karena bisa saja orang yang disebelahku pelakunya—Ripal donk *eh!! ;p

“Apa yang ilang mas??”, tanya para penumpang
“HP sama dompet saya!! Tadi saya lagi duduk di bawah, HP ada di saku depan kemeja saya! Dompet di saku celana belakang! Haduh gimana ini?!”, jawabnya panik.
“Oooo kayaknya yang banyak orang jualan bolak-balik itu kali ya,,biasanya mereka ga sendiri, tapi banyakan, udah joinan gitu sesama pedagang”, kata seorang penumpang yang sepertinya tahu tentang seluk beluk kereta ekonomi ini.

Sempat ada seseorang yang Dewi curigai, dan menyuruh Ripal untuk menanyakan warna HP yang hilang. Namun ternyata orang yang dimaksud Dewi bukan pelakunya.
Tak lama setelah itu, kejadian serupa pun terjadi lagi, namun kali ini di gerbong sebelah yang kebetulan Dado dan Zibow berada tak jauh dari situ. Dia mengirimi SMS ke Ripal kalau di gerbong sebelah juga ada yang kecopetan—hmmmm..nasiiiib,nasiiib…beginilah hidup merakyat, harus menelan pil pahit kenyataan hidup.

Kejadian copet tadi membuat seisi gerbong waspada, tak terkecuali aku. Itu adalah pelajaran yang patut kita petik hikmahnya, kita sebagai manusia harus tetap terjaga dengan keadaan di sekelilingnya, waspada dalam situasi apapun.

To be continue….

dado ma zibow @kereta ekonomi AC




Tidak ada komentar:

Posting Komentar